Jumat, 01 Maret 2019

Luka




Kupastikan kembali jika tempat kami bertemu sudah benar. Di taman kota, jam sembilan pagi. Masih ada waktu tiga menit, wajar jika dia belum datang. Kurapihkan gamis dan jilbab panjangku yang sedikit berantakan setelah berkendara.

Kutatap kardus kecil yang kubawa. Itu adalah pesanan pelanggan yang akan kutemui kali ini. Duaratus buah cermin hias berukuran kecil yang dibungkus kotak berbentuk love berwarna pink, sudah siap pindah tangan.

Ya, sudah tiga tahun aku menggeluti bisnis souvenir pernikahan ini. Sejak ... ah, sudahlah!

Kulihat seorang wanita cantik berjalan ke arahku. Memakai kemeja lengan pendek, rok ketat selutut dan sepatu tinggi. Seksi.

"Qinara, ya?" tanyanya.

"Eh, iya." Kuulurkan tangan, bersalaman.

"Gimana? Udah siap?" Aku mengangguk. Kuulurkan kardus yang kubawa. Jemari lentiknya memeriksa.

"Cantik banget!" pujinya. Aku hanya tersenyum. Bukankah selalu seperti itu ketika aku mengantar pesanan?

"Eh, Sayang, liat nih! Cantik lho," ucapnya sambil melihat seseorang yang baru datang, dari belakangku. Pasti calon suaminya. Aku menoleh.

Ya Tuhan! Dia?

Duniaku seolah membeku. Tatapan kami bertemu. Saling menusuk, mungkin. Cukup lama mata kami bersitatap. Entah, aku seolah tak kuasa melihat yang lain. Mungkin dia juga begitu. Hingga ....

"Ini calon suamiku, Mbak." Wanita yang kukenal bernama Lyn itu memperkenalkan lelaki berbadan atletis yang dibalut kemeja hitam. Aku tersenyum sembari menangkupkan telapak tanganku di dada. Dia melakukan hal yang sama. Bahkan masih sama dengan yang dia lakukan, dua tahun yang lalu.

Dadaku bergemuruh hebat. Bagaimana bisa kami bertemu di sini, dengan keadaan seperti ini?

Kulihat mereka terpesona dengan souvenir yang kubawa. Sesekali lelaki itu kikuk menatapku. Membuat aku semakin membeku. Ada goresan kecil, namun berdarah hebat di ujung sana. Di tempat aku pernah mengukir namanya.

"Makasih, ya, Mbak. Aku suka. Banget malahan. Sisanya nanti siang aku transfer," ucap Lyn padaku seraya berdiri.

"Eh, iya. Terimakasih juga."

Mereka lantas pamit.
"Mari! Qinara," pamit lelaki itu padaku. Terdengar aneh. Karena aku belum menyebut namaku.

Apa mungkin dia tahu dari Lyn? Atau? Ah, tentu saja dia masih ingat namaku.

Mataku semakin buram menatap kepergian mereka. Laju mobilnya bersamaan dengan runtuhnya bendungan di mataku. Dua jalur bening segera meluncur turun. Aku menggigit bibir. Inikah jawabannya?

Kubiarkan air mataku membasahi jilbab panjangku. Karena aku menunduk. Sesak. Sungguh!

Dia adalah Tio-ku, dulu. Lelaki yang pernah membuatku menutup hati untuk siapapun. Dia juga yang masih membuat sesak ketika rindu melanda. Namun, dia juga yang menggores luka dalam, yang tak sembuh, bahkan hingga sekarang.

"Aku bukan yang terbaik untukmu, Qinara. Kau terlalu baik untukku."

Kalimat terakhirnya dua tahun lalu ketika dia menghilang selama berbulan-bulan. Tak peduli aku wanita. Kudatangi kontrakannya meski jauh dari kotaku. Yang kudapat, dia sudah bersama wanita lain, tapi bukan Lyn. Hanya saja, mereka serupa. Berpakaian mini, khas gadis kota. Berbeda denganku yang hanya menghabiskan waktu di rumah dengan pakaian serba panjang.

Sakit? Tentu saja. Berbulan-bulan aku bagai tak bernyawa. Aku terjatuh dan terluka karena cinta pertamaku.

"Kadang Allah mematahkan hatimu, agar terhindar dari orang yang salah," nasehat Jihan, sahabatku kala itu.

Omong kosong! Kataku dulu.

Jika memang benar, kenapa harus sesakit ini? Terluka sedalam ini?

Aku jatuh, sejatuh-jatuhnya. Hingga kusadari, bahwa aku bodoh.

Waktu adalah obat paling mujarab. Mungkin memang benar. Karena aku memang perlu waktu lama untuk membuatku lupa, bahwa Tio memang bukan untukku.

Namun sayang, luka itu tak kunjung sembuh. Bahkan terus meradang ketika aku kembali mengingatnya. Bahkan luka itu terus kusimpan, entah sampai kapan.

Ternyata pertemuan singkat yang tak disengaja ini, kembali menikam lukaku. Sakit, tentu saja. Melihat dia berbahagia dengan orang lain. Namun setidaknya aku mendapat kepastian, bahwa dia memang harus dilupakan.

Dan sekarang aku sadar, luka itu bukan hanya disimpan, tapi harus disembuhkan.

TTD Tukang Nulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar