Kupastikan kembali jika tempat kami bertemu
sudah benar. Di taman kota, jam sembilan pagi. Masih ada waktu tiga menit,
wajar jika dia belum datang. Kurapihkan gamis dan jilbab panjangku yang sedikit berantakan setelah
berkendara.
Kutatap kardus kecil yang kubawa. Itu
adalah pesanan pelanggan yang akan kutemui kali ini. Duaratus buah cermin hias
berukuran kecil yang dibungkus kotak berbentuk love berwarna pink, sudah siap
pindah tangan.
Ya, sudah tiga tahun aku menggeluti bisnis
souvenir pernikahan ini. Sejak ... ah, sudahlah!
Kulihat seorang wanita cantik berjalan ke
arahku. Memakai kemeja lengan pendek, rok ketat selutut dan sepatu tinggi.
Seksi.
"Qinara, ya?" tanyanya.
"Eh, iya." Kuulurkan tangan,
bersalaman.
"Gimana? Udah siap?" Aku
mengangguk. Kuulurkan kardus yang kubawa. Jemari lentiknya memeriksa.
"Cantik banget!" pujinya. Aku
hanya tersenyum. Bukankah selalu seperti itu ketika aku mengantar pesanan?
"Eh, Sayang, liat nih! Cantik
lho," ucapnya sambil melihat seseorang yang baru datang, dari belakangku. Pasti calon
suaminya. Aku menoleh.
Ya Tuhan! Dia?
Duniaku seolah membeku. Tatapan kami
bertemu. Saling menusuk, mungkin. Cukup lama mata kami bersitatap. Entah, aku seolah tak kuasa melihat yang lain. Mungkin
dia juga begitu. Hingga ....
"Ini calon suamiku, Mbak." Wanita
yang kukenal bernama Lyn itu memperkenalkan lelaki berbadan atletis yang dibalut kemeja hitam. Aku tersenyum sembari menangkupkan telapak tanganku di dada. Dia
melakukan hal yang sama. Bahkan masih sama dengan yang dia lakukan, dua tahun
yang lalu.
Dadaku bergemuruh hebat. Bagaimana bisa
kami bertemu di sini, dengan keadaan seperti ini?
Kulihat mereka terpesona dengan souvenir
yang kubawa. Sesekali lelaki itu kikuk menatapku. Membuat aku semakin membeku. Ada goresan
kecil, namun berdarah hebat di ujung sana. Di tempat aku pernah mengukir
namanya.
"Makasih, ya, Mbak. Aku suka. Banget
malahan. Sisanya nanti siang aku transfer," ucap Lyn padaku seraya berdiri.
"Eh, iya. Terimakasih juga."
Mereka lantas pamit.
"Mari! Qinara," pamit lelaki itu
padaku. Terdengar aneh. Karena aku belum menyebut namaku.
Apa mungkin dia tahu dari Lyn? Atau? Ah, tentu
saja dia masih ingat namaku.
Mataku semakin buram menatap kepergian
mereka. Laju mobilnya bersamaan dengan runtuhnya bendungan di mataku. Dua jalur
bening segera meluncur turun. Aku menggigit bibir. Inikah jawabannya?
Kubiarkan air mataku membasahi jilbab
panjangku. Karena aku menunduk. Sesak. Sungguh!
Dia adalah Tio-ku, dulu. Lelaki yang pernah
membuatku menutup hati untuk siapapun. Dia juga yang masih membuat sesak ketika
rindu melanda. Namun, dia juga yang
menggores luka dalam, yang tak sembuh, bahkan hingga sekarang.
"Aku bukan yang terbaik untukmu,
Qinara. Kau terlalu baik untukku."
Kalimat terakhirnya dua tahun lalu ketika
dia menghilang selama berbulan-bulan. Tak peduli aku wanita. Kudatangi
kontrakannya meski jauh dari kotaku. Yang kudapat, dia sudah bersama wanita
lain, tapi
bukan Lyn. Hanya saja, mereka serupa. Berpakaian mini, khas gadis kota. Berbeda
denganku yang hanya menghabiskan waktu di rumah dengan pakaian serba panjang.
Sakit? Tentu saja. Berbulan-bulan aku bagai
tak bernyawa. Aku terjatuh dan terluka karena cinta pertamaku.
"Kadang Allah mematahkan hatimu, agar
terhindar dari orang yang salah," nasehat Jihan, sahabatku kala itu.
Omong kosong! Kataku dulu.
Jika memang benar, kenapa harus sesakit
ini? Terluka sedalam ini?
Aku jatuh, sejatuh-jatuhnya. Hingga
kusadari, bahwa aku bodoh.
Waktu adalah obat paling mujarab. Mungkin
memang benar. Karena aku memang perlu waktu lama untuk membuatku lupa, bahwa
Tio memang bukan untukku.
Namun sayang, luka itu tak kunjung sembuh. Bahkan terus meradang ketika
aku kembali mengingatnya. Bahkan luka itu terus kusimpan, entah sampai kapan.
Ternyata pertemuan singkat yang tak
disengaja ini, kembali menikam lukaku. Sakit, tentu saja. Melihat dia berbahagia
dengan orang lain. Namun setidaknya aku mendapat kepastian, bahwa dia memang harus
dilupakan.
Dan sekarang aku sadar, luka itu bukan
hanya disimpan, tapi harus disembuhkan.
TTD Tukang Nulis